Kamis, 09 Juni 2011

Panggung Tanah Perempuan

Oleh: Ayuningtyas Kiswandari

            Gedung Kesenian Jakarta malam itu menjadi saksi perjuangan bagi anggota Bengkel Sastra UNJ yang dipelopori oleh sastrawati ternama, Helvy Tiana Rosa. Kebanggan yang dirasakan usai pementasan menjadi “harga mati” atas kerja keras mereka. Panggung Tanah Perempuan malam itu bukan sekedar panggung sandiwara dalam angan mereka, bagian dari cita-cita terbesar untuk dapat berdiri di atas panggung mewah GKJ terwujud sudah. Cita-cita besar inilah yang disampaikan oleh Ferdi Firdaus, sutradara pementasan Tanah Perempuan ini.
            Tiga syarat utama sebuah pementasan drama bukan hanya sekedar teori saja. Pertama, naskah drama berjudul Tanah Perempuan menjadi unsur terpenting dalam pementasan ini. Mengisahkan perempuan Aceh yang terpuruk akibat diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer) di masa Orde Baru, kondisi ini semakin parah saat perempuan Aceh tersebut harus menghadapi beban psikologis yang mendalam akibat bencana tsunami yang melanda kota tersebut. Perempuan Aceh tersebut akhirnya mampu menemukan semangatnya kembali setelah dipertemukan oleh pejuang perempuan dari tanah Aceh. Secara garis besar kita dapat menebak penulis naskah drama yang apik ini, ya dialah Helvy Tiana Rosa.
            Memang benar bahwa teks drama hanyalah sebuah teks, dan ia merupakan artefak atau “sesuatu yang mati”. Pementasanlah yang membuatnya hidup, tetapi perlu diingat bahwa sebelum teks tersebut hidup ada peran sutradara yang menafsirkan dan “menghidupkan” teks tersebut dengan kemampuan visualisasi imajinasinya. Ferdi Firdaus, sutradara pementasan ini mampu memberikan penafsiran pertama bagi teks drama HTR tersebut. Pemilihan pemain yang teliti dan apik hingga mampu mewakili karakter setiap tokoh yang mereka perankan, penggagas pertama bagi latar belakang tiap babak dan adegannya, dan lain sebagainya yang membawa keringat totalitas serta kemampuan Ferdi Firdaus dalam menyutradarai pementasan Tanah Perempuan ini.
            Kedua, pentas dengan segala pendukungnya yang memoles dan menjadikan cerita dalam naskah tidak hanya sekedar tulisan belaka, namun merupakan kongkretisasi pemvisualisasian teks drama melalui sebuah pementasan. Pementasan tidak akan berhasil apabila tidak didukung dengan segala atributnya, mulai dari pemain yang mewakili tokohnya, dekorasi yang mewakili waktu dan tempatnya, tata rias yang turut membantu menguatkan dalam penghayatan karakter tiap tokoh, cahaya yang turut membantu menimbulkan efek laku dramatis atau efek suasana tertentu, dan lain sebagainya. Dalam pementasan Tanah Perempuan ini cukup acungan jempol yang menjawabnya. Pendukung pementasan yang saling terkait satu sama lain inilah yang menjadi kekuatan panggung Tanah Perempuan.
            Kekreatifan imaji sutradara tervisualkan lewat dekorasi panggung. Penulis dramanya sendiri mengatakan bahwa kekurangan naskah ini adalah menyuulitkan untuk dipentaskan, mulai dari logat Aceh sampai pendeskripsian Aceh di masa DOM, masa kekuatan Laksamana Keumalahayati, masa kejayaan Safiyatuddinsyah, masa perjuangan Cut Nyak Dien, dan lain-lain. Kesulitan-kesulitan tersebut mampu diatasi oleh sutradara, terbukti megahnya panggung pementasan mereka yang dibaluti busana ke-Aceh-an, suasana kerajaan Safiyahtuddin Syah, kapal Laksamana Keumalahayati sampai suasana ombak tsunami dan sebagainya berhasil tervisualkan dengan baik.
            Pencahayaan dalam pementasan ini jangan ditanyakan lagi. GKJ tentunya menyediakan lampu pementesan secara lengkap, sehingga mampu mencahayakan pemain yang memiliki karakter yang berbeda. Disamping itu para tata lampu (lighting) benar-benar memfungsikan beraneka bohlam lampu sesuai fungsinya masing-masing. Meskipun ada sedikit gangguan dalam mengatur ketajaman pencahayaan pada beberapa adegan namun tidak mengganggu kekhuyu’-an penonton dalam menyaksikan pertunjukan drama Tanah Perempuan ini. Tidak tertinggal alunan musik yang mengiri jalannya pementasan drama menambah cantik suasana tiap adegannya. Keindahan alunan musik turut membawa perasaan penonton menjadai menggebu-gebu saat efek dramatis mewarnai isi panggung Tanah Perempuan. Ditambah lagi, pada saat pemberontakan DOM terjadinya pembakaran bangunan-bangunan penting di Nanggroe Aceh Darussalam menggunakan media gambar dan sorotan lampu kemerah-merahan serta alunan musik yang menegangkan. Poin plus bagi pementasan drama ini mampu membuang jauh kefiksian keadaan atau situasi yang tidak mungkin terulang kedua kalinya namun diwujudkan kembali di panggung teater seolah hal tersebut terulang kembali.
            Panggung Tanah Perempuan ini pun menjadi tambah meriah saat disukseskan oleh Habibburahman El-Shirazy (Narator), Oki Setiana Dewi (Cut Meurah Intan), Ibu walikota Banda Aceh. Selain itu, sebelum pementesan acara dibawa oleh Astri Ivo dan Asma Nadia (MC). Tak ketinggalan jua, ibu Meutia Hatta ikut memberikan sambutan dan menyaksikan pertunjukan ini. Kehadiran merekalah yang memeriahkan sekaligus membawa pementasan ke kancah nasional. Rencananya panggung Tanah Perempuan ini akan berakhir di Aceh.
            Ketiga, penonton merupakan unsur terpenting dalam sebuah pementasan drama. Bukan pementasan namanya jika tidak ada penontonnya. Segenap tim penggagas sebuah pementasan baik yang dibelakang layar panggung maupun yang diluar cukup mempersembahkan dan menampilkan segala yang mereka imajikan dan mereka hayati saja. Penilaian tetap berada pada kuasa penonton. Laporan ini pun merupakan salah satu buah penilaian dari seorang penonton yang menyaksikan pertunjukkan tersebut, baik itu secara objektif maupun secara subjektif. Di samping sebagai penilai, penonton juga menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pementasan drama.
            Inilah hasil pengamatan penulis (baca: penonton) dalam menyaksikan pementasan Tanah Perempuan di Gedung Kesenian Jakarta, pada minggu 8 November 2009. Berdasarkan unsur-unsur penting dalam sebuah pementasan drama telah diwujudkan oleh Bengkel Sastra UNJ dalam panggung megah mereka, ya! Panggung Tanah Perempuan.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar