Sabtu, 16 Juli 2011

Tentang Miopi dan Astigmatisme

Oleh: Ayuningtyas Kiswandari

Tulisan ini saya buat setelah kemarin, Sabtu 170711, saya mengotrol kesehatan mata saya. Sudah satu tahun lebih saya tidak memeriksakan diri ke dokter mata. Seperti yang teman-teman ketahui (bagi yang mengenal saya), penampilan saya sehari-hari mengenakan kaca mata. Nah, jika kalian bertemu orang yang mengenakan kaca mata terkadang secara otomatis menanyakan “minus berapa kamu?”. Pertanyaan seperti itu bermacam-macam jawabannya. Apabila si penderita (baca: pengguna kaca mata) memiliki minus dengan nominal yang besar mereka akan segan menjawab, namun tidak banyak dari mereka tetap memberikan jawabannya (lain halnya dengan seorang yang menngunakan kaca mata untuk gaya saja padahal matanya sehat ya, hehehehe).

Seperti yang kita ketahui, rabun dekat (bahasa lainnya miopi) bisa menyerang siapa saja bahkan tidak mengenal usia (kecuali usia tua, biasanya bukan rabun jauh melainkan rabun dekat, hipermetropi). Prihatinnya banyak sekarang anak-anak usia 6 tahun-an sudah menggunakan kaca mata. Sebenarnya penyebab dari miopi ini adalah Kebiasaan yang buruk. Jika boleh sedikit bercerita, kemarin adik saya ikut memeriksakan kesehatan matanya. Beberapa bulan yang lalu matanya masih sehat-sehat saja. Sejak pemeriksaan kemarin matanya sudah memiliki ukuran (masih dengan minus yang kecil yakni 0,5). Menurut dokter spesialis mata, penyebab seorang penderita miopi adalah kebiasaan yang buruk, seperti menonton televisi dengan jarak yang dekat dan waktunya lama. “Sebenarnya dekatnya tidak menjadi masalah, tapi cukup satu jam saja menontonnya, kalau kamu menonton dekat satu jam maka kamu harus mengganti penglihatan dengan jarak pandang yang jauh satu jam juga”, kata Dokter Helario, Sp. M. Pada intinya kita harus menyeimbangkan lamanya jarak pandang mata kita terhadap suatu obyek. Terlebih pada saat menonton televisi, menatap layar komputer, ataupun membaca yang mana jarak pandang mata ke arah objek akan statis.

Tidak hanya itu, ternyata setelah kami berdua memeriksakan diri, saya dan adik saya juga memiliki silinder (astigmatisme). Bedanya dengan miopi apa?, seorang penderita miopi jika melihat suatu objek akan terasa buram, gejala utamanya tentu saja kesulitan melihat objek-objek yang ada di kejauhan secara jelas, biasanya penderita akan menyipitkan mata untuk bisa melihat lebih jelas. Hal ini terjadi dikarenakan bayangan objek yang ditangkap mata jatuh di depan retina atau karena keadaan fisik lensa mata yang terlalu cembung atau tidak dapat memipih seoptimal mungkin sehingga memerlukan bantuan dengan lensa cekung atau minus.

Lain dengan penderita astigmatisme terjadi akibat lengkung kornea mata yang tidak merata.  Bola mata penderita berbentuk lonjong seperti telur sehingga sinar atau bayangan yang masuk ke mata sedikit menyebar alias tidak fokus pada retina. Hal ini menyebabkan bayangan yang terlihat akan kabur dan hanya terlihat jelas pada satu titik saja. Di samping itu, bayangan yang agak jauh akan tampak kabur dan bergelombang. Intinya. gejala silinder ketika melihat objek maka objek tersebut akan berbayang, atau ketika membaca tulisan dengan spasi yang rapat sering kabur ke baris yang sama.

Penyebab silinder bisa karena genetik atau turunan atau tekanan yang berlebihan pada kornea, kebiasaan membaca yang buruk dan kebiasaan menggunakan mata untuk melihat objek yang terlalu dekat. Ketika saya bertanya kepada dokter apakah penderita miopi dan astigmatisme ini bisa disembuhkan atau tidak (alias tidak lagi menggunakan bantuan lensa mata (baca: kaca mata))?, dengan yakinnya pak dokter berkata, “Bisa! Dengan lasik, jadi bola matanya dibentuk kembali seperti sediakala”.  

Oleh karena itulah teman-teman sekalian, mulai sekarang jagalah kesehatan mata kalian. Hindari kebiasaan buruk yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, terutama bagi mereka yang kesehariannya dekat dengan benda bercahaya seperti komputer atau bagi kalian yang hobi membaca dan menonton televisi, jaga jarak pandang dan lamanya waktu melihat serta posisinya. Perhatikan pula asumsi vitamin A untuk kesehatan mata karena jika sudah menderita miopi atau astigmatisme pemberian vitamin sebanyak apapun kecil kemungkinan untuk memulihkan penglihatan kita. Bersyukurlah atas nikmat penglihatan yang telah diberikan Allah kepada kita, kini saya sendiri sering merindukan mata sehat tanpa berkaca mata. Wallahu alam bishowab.







Sumber:  

http://www.blogdokter.net/2009/02/12/astigmatisme-mata-silindris/

Kamis, 14 Juli 2011

Memori Saat Bersama, Mas

Goresan sebuah masa antara aku dengan kamu, Mas…

            Saat dipersatukan dalam bingkai mawar dan melati segar dengan lantang mas mencuri perhatian Allah, malaikat, dan seribu satu undangan. Resmi sudah aku menjadi permaisuri hatimu. Bagiku tidak cukup satu setengah tahun hari-hariku penuh dengan semerbak gerak-gerikmu. Aku ingin lebih dari itu karena ini memori tentangmu, sayang…



Saat pandang kita bertemu. Aku mengerti, mas sedang memahamiku.

Saat matamu menatapku,  aku pun mengerti bahwa mas sedang meyakinkanku

;begitulah saat matamu berbicara. Mengungkapkan lebih dari bendungan perasaanmu.

Mengurai kekhawatiranmu akan diriku.

Aku menangkap banyak makna dari siluet tatapmu.



Saat jemarimu mengeja jemariku.

Aku mengerti, mas ingin sekali menuntunku.

Bukan sekedar menuntun melainkan mas juga ingin dituntun.

Maka, saat itu mas benar-benar menggenggam tanganku.

Lagi-lagi mas sedang meyakinkanku

;genggamanmu meyakinkan akan kuatnya perasaanmu padaku.



Saat bahumu begitu tegap disampingku.

Aku mengerti, mas menawarkan sandaran untukku

;sandaran manusiawi yang berfasilitas surgawi.

Begitulah bahumu menyiratkan ketenangan demi menjagaku.



Saat mas mengecup punggung tanganku.

Saat itu mas memajamkan mata.

Sesaat aku kehilangan siluet matamu.

Namun, mas menggantinya dengan sketsa kehangatan

;begitulah saat mas meluahkan seluruh rasamu padaku.

Saat itulah aku ingin detik waktu berhenti di suasana ini.



Aroma di setiap saat bersama mas itu menjadi tulisan pada lembaran diari hariku. Sejak kukenal di akhir tahun silam, mas selalu menjadi purnama dihatiku,



”aku sayang padamu,” katamu serius.



”apa yang berbeda dari sayang padaku terhadap yang lain?,” tanyaku tak kalah serius darinya. Cukup kerlingan matamu menjadi jawaban. Tega nian dirimu, mas. Sejak itu aku terus mencari jawaban dari kerlingan matamu.     

Kini semua tak ada lagi saat itu, yang ada hanya saat sebuah memori tentang kesepian menghampiriku. Naas semua sudut ruangan ini tak mampu melenyapkan bayangmu. Saat bersama mas itulah yang membekas sampai nanti, sampai kita dipertemukan lagi. Sayangnya, aku baru benar-benar mendapatkan arti kerlingan matamu itu sesaat sebelum mas berpamitan dari sisiku, Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba FF tentang Rindu dan Kehilangan, namun belum takdirnya untuk menang. hihihihi... Daripada naskah ini didiamkan saja akhirnya saya share ajalah di blog... oh ya, naskah ini terinspirasi dari Angelina Sondakh yang ditinggal oleh suaminya, Alm. Adjie Massaid. (waktu itu di televisi ditayangi terus-terusan sih, jadinya gregetan nulis deh, kebetulan juga ada event menulis dengan tema yang cocok, kirim deh..., hehehehhe)

Kamis, 09 Juni 2011

Panggung Tanah Perempuan

Oleh: Ayuningtyas Kiswandari

            Gedung Kesenian Jakarta malam itu menjadi saksi perjuangan bagi anggota Bengkel Sastra UNJ yang dipelopori oleh sastrawati ternama, Helvy Tiana Rosa. Kebanggan yang dirasakan usai pementasan menjadi “harga mati” atas kerja keras mereka. Panggung Tanah Perempuan malam itu bukan sekedar panggung sandiwara dalam angan mereka, bagian dari cita-cita terbesar untuk dapat berdiri di atas panggung mewah GKJ terwujud sudah. Cita-cita besar inilah yang disampaikan oleh Ferdi Firdaus, sutradara pementasan Tanah Perempuan ini.
            Tiga syarat utama sebuah pementasan drama bukan hanya sekedar teori saja. Pertama, naskah drama berjudul Tanah Perempuan menjadi unsur terpenting dalam pementasan ini. Mengisahkan perempuan Aceh yang terpuruk akibat diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer) di masa Orde Baru, kondisi ini semakin parah saat perempuan Aceh tersebut harus menghadapi beban psikologis yang mendalam akibat bencana tsunami yang melanda kota tersebut. Perempuan Aceh tersebut akhirnya mampu menemukan semangatnya kembali setelah dipertemukan oleh pejuang perempuan dari tanah Aceh. Secara garis besar kita dapat menebak penulis naskah drama yang apik ini, ya dialah Helvy Tiana Rosa.
            Memang benar bahwa teks drama hanyalah sebuah teks, dan ia merupakan artefak atau “sesuatu yang mati”. Pementasanlah yang membuatnya hidup, tetapi perlu diingat bahwa sebelum teks tersebut hidup ada peran sutradara yang menafsirkan dan “menghidupkan” teks tersebut dengan kemampuan visualisasi imajinasinya. Ferdi Firdaus, sutradara pementasan ini mampu memberikan penafsiran pertama bagi teks drama HTR tersebut. Pemilihan pemain yang teliti dan apik hingga mampu mewakili karakter setiap tokoh yang mereka perankan, penggagas pertama bagi latar belakang tiap babak dan adegannya, dan lain sebagainya yang membawa keringat totalitas serta kemampuan Ferdi Firdaus dalam menyutradarai pementasan Tanah Perempuan ini.
            Kedua, pentas dengan segala pendukungnya yang memoles dan menjadikan cerita dalam naskah tidak hanya sekedar tulisan belaka, namun merupakan kongkretisasi pemvisualisasian teks drama melalui sebuah pementasan. Pementasan tidak akan berhasil apabila tidak didukung dengan segala atributnya, mulai dari pemain yang mewakili tokohnya, dekorasi yang mewakili waktu dan tempatnya, tata rias yang turut membantu menguatkan dalam penghayatan karakter tiap tokoh, cahaya yang turut membantu menimbulkan efek laku dramatis atau efek suasana tertentu, dan lain sebagainya. Dalam pementasan Tanah Perempuan ini cukup acungan jempol yang menjawabnya. Pendukung pementasan yang saling terkait satu sama lain inilah yang menjadi kekuatan panggung Tanah Perempuan.
            Kekreatifan imaji sutradara tervisualkan lewat dekorasi panggung. Penulis dramanya sendiri mengatakan bahwa kekurangan naskah ini adalah menyuulitkan untuk dipentaskan, mulai dari logat Aceh sampai pendeskripsian Aceh di masa DOM, masa kekuatan Laksamana Keumalahayati, masa kejayaan Safiyatuddinsyah, masa perjuangan Cut Nyak Dien, dan lain-lain. Kesulitan-kesulitan tersebut mampu diatasi oleh sutradara, terbukti megahnya panggung pementasan mereka yang dibaluti busana ke-Aceh-an, suasana kerajaan Safiyahtuddin Syah, kapal Laksamana Keumalahayati sampai suasana ombak tsunami dan sebagainya berhasil tervisualkan dengan baik.
            Pencahayaan dalam pementasan ini jangan ditanyakan lagi. GKJ tentunya menyediakan lampu pementesan secara lengkap, sehingga mampu mencahayakan pemain yang memiliki karakter yang berbeda. Disamping itu para tata lampu (lighting) benar-benar memfungsikan beraneka bohlam lampu sesuai fungsinya masing-masing. Meskipun ada sedikit gangguan dalam mengatur ketajaman pencahayaan pada beberapa adegan namun tidak mengganggu kekhuyu’-an penonton dalam menyaksikan pertunjukan drama Tanah Perempuan ini. Tidak tertinggal alunan musik yang mengiri jalannya pementasan drama menambah cantik suasana tiap adegannya. Keindahan alunan musik turut membawa perasaan penonton menjadai menggebu-gebu saat efek dramatis mewarnai isi panggung Tanah Perempuan. Ditambah lagi, pada saat pemberontakan DOM terjadinya pembakaran bangunan-bangunan penting di Nanggroe Aceh Darussalam menggunakan media gambar dan sorotan lampu kemerah-merahan serta alunan musik yang menegangkan. Poin plus bagi pementasan drama ini mampu membuang jauh kefiksian keadaan atau situasi yang tidak mungkin terulang kedua kalinya namun diwujudkan kembali di panggung teater seolah hal tersebut terulang kembali.
            Panggung Tanah Perempuan ini pun menjadi tambah meriah saat disukseskan oleh Habibburahman El-Shirazy (Narator), Oki Setiana Dewi (Cut Meurah Intan), Ibu walikota Banda Aceh. Selain itu, sebelum pementesan acara dibawa oleh Astri Ivo dan Asma Nadia (MC). Tak ketinggalan jua, ibu Meutia Hatta ikut memberikan sambutan dan menyaksikan pertunjukan ini. Kehadiran merekalah yang memeriahkan sekaligus membawa pementasan ke kancah nasional. Rencananya panggung Tanah Perempuan ini akan berakhir di Aceh.
            Ketiga, penonton merupakan unsur terpenting dalam sebuah pementasan drama. Bukan pementasan namanya jika tidak ada penontonnya. Segenap tim penggagas sebuah pementasan baik yang dibelakang layar panggung maupun yang diluar cukup mempersembahkan dan menampilkan segala yang mereka imajikan dan mereka hayati saja. Penilaian tetap berada pada kuasa penonton. Laporan ini pun merupakan salah satu buah penilaian dari seorang penonton yang menyaksikan pertunjukkan tersebut, baik itu secara objektif maupun secara subjektif. Di samping sebagai penilai, penonton juga menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pementasan drama.
            Inilah hasil pengamatan penulis (baca: penonton) dalam menyaksikan pementasan Tanah Perempuan di Gedung Kesenian Jakarta, pada minggu 8 November 2009. Berdasarkan unsur-unsur penting dalam sebuah pementasan drama telah diwujudkan oleh Bengkel Sastra UNJ dalam panggung megah mereka, ya! Panggung Tanah Perempuan.
*****